E |
nam puluh tujuh tahun yang lalu,
tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta atas Bangsa Indonesia,
memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Tentunya, untuk menyatukan
beragam suku, agama, ras, golongan dalam sebuah Negara kesatuan, bukanlah
perkara yang gampang. Akan tetapi, demi Indonesia, para founding father’s “sepakat” untuk merajut kebersamaan dalam
perbedaan dengan mencetuskan semboyan, Bhineka
Tunggal Ika (berbeda-berbeda tetapi satu jua). Maka, sejak itulah dari
Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, tanpa memandang
perbedaan suku, agama, ras bersatu dalam
sebuah Negara kesatuan, bernama Indonesia.
Tahun ini,
Republik Indonesia genap berusia 67 tahun. Sayangnya, perayaan tahun ini,
diwarnai “kabar tak sedap”. Bukan karena dana yang dihabiskan di Istana yang konon katanya, mencapai milyaran rupiah. Tetapi, beberapa
peristiwa yang terjadi baik pra maupun
pasca perayaan hari kemerdekaan, seperti: Isu SARA Pilgub
DKI, Kasus HKBP Filadelfia & GKI Yasmin, yang untuk kesekian kali beribadah
di depan Istana, seorang Nenek yang dihukum 4 bulan karena mencuri kakao, untuk
“menyambung hidup” akibat kemiskinan dan yang teranyar adalah Penangkapan dua
oknum hakim oleh Mahkama Agung (MA) dan KPK, karena “tertangkap tangan”
menerima suap.
Realitas
inilah, yang “merangsang” nalar saya –untuk tidak menulis lebih lanjut perihal
“kemerdekan” toh, pertanyaan,
“Benarkah Indonesia sudah medeka?” adalah pertanyaan usang, karena antara impian dan kenyataan para pendiri bangsa, bak langit dan bumi– tetapi bertanya, “Masih
adakah ‘Ratu Adil’ di
Republik ini?” Jika masih ada, mengapa, GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia terus
dibiarkan “terkatung-katung” tanpa kepastian, dimanakah keadilan? Jika masih
ada keadilan, mengapa pencuri kakao, pencuri ayam, cepat divonis bersalah dan
menjalani hukuman, sedangkan para pencuri kelas kakap (Koruptor) kasus Century,
Hambalang dan sebagainya, sepertinya sangat sulit dihukum? Entahlah! Yang
pasti, semakin lama saya memikirkan “keadilan”
di bangsa ini, semakin pusing kepala saya. Saya, lalu berpikir, mengapa saya memikirkan yang terlalu tinggi!
Bukankah, keadilan itu berawal dari diri sendiri, keluarga, dan lembaga? Jika demikian, Apakah,
saya sudah berlaku adil? Apakah di
Lembaga saya, juga telah berlaku adil? Apakah para alumni masih merasa
diperlakukan tidak adil? Dan sejuta
pertanyaan lainnya, seputar keadilan! Hingga akhirnya, saya “menemukan” sebuah
kisah, yang membuat saya semakin mengerti, apa sebenarnya keadilan itu!
Alkisah, di Negeri Antaberanta, pada
suatu ketika, datanglah seorang putera Raja
yang baru berumur 7 tahun,
mengadu kepada Penasehat Kerajaan, khusus yang menangani
putra-putri Raja.
"Saya merasa
diperlakukan tidak adil," katanya.
"Siapa yang memperlakukanmu tidak
adil, anakku?" tanya Sang Penasehat,
"Raja!" jawabnya singkat.
"Apa yang engkau
rasakan sebagai ketidak-adilan?" kata Sang Penasehat.
"Raja selalu
membeda-bedakan pemberiannya kepadaku dan adikku!" kata putera Raja itu
masih dengan emosi, dan suara yang meninggi.
"Jadi,
menurutmu?" lanjut Sang Penasehat.
"Supaya adil,
Raja harus memberikan barang yang sama kepada kami berdua!" katanya, dengan ketus.
Lebih lanjut, ia berkata,
"Kemarin
Raja menghadiahi adikku kuda putih sedangkan aku kuda cokelat biasa! "
Sang
Penasehat tersenyum saja mendengar "protes" putera Raja yang masih
belia itu. Namun demikian dengan bijak ia menanggapi,
"Baik, nanti Paman akan membicarakannya
dengan Baginda, anakku," kata Sang Penasehat.
Singkat
cerita, Raja kemudian mengikuti nasehat yang diberikan Penasehat Khusus
putera-puteri Raja itu dengan selalu memberikan barang
yang sama untuk kedua puteranya.
Setelah
sekian lama berlangsung, putera Raja itu kembali datang menemui Sang Penasehat
dan berkata,
"Ini tidak
adil!"
katanya,
"Apalagi
anakku?" kata Sang Penasehat.
"Saya dihadiahi
celana yang ukurannya sama dengan adikku! Bagaimana aku bisa memakainya?!"
katanya
emosi, sementara Sang Penasehat tersenyum tenang.
"Jadi anakku,
menurutmu keadilan itu apa sekarang?”
"Raja harus
memberikan ukuran celana yang sesuai dengan ukuran masing-masing!” katanya ketus.
"Jadi, itu
keadilan?" tanya Penasihat.
"Iya!" jawab putera Raja
itu.
Sambil
memeluk anak itu, Sang Penasehat berkata,
“Anakku, sejauh kamu
masih mencari dan mempertanyakan soal keadilan, maka kamu tidak akan pernah
menemukannya. Keadilan itu bukan dikejar atau diberikan, keadilan akan ada
kalau semua orang bersama-sama menciptakannya. Keadilan tidak datang kalau engkau hanya melihat kepentingan diri
sendiri, keadilan akan hadir hanya kalau
semua orang membuka hatinya untuk memikirkan orang lain juga.”
Jadi, akhirnya marilah kita
mengusahakan keadilan itu, sebelum kita menuntutnya! Mulailah dari diri
sendiri, keluarga, lembaga, dan akhirnya dapat mempengaruhi bangsa ini, Semoga!