(Refleksi Yehezkiel 37:11 b
KECEWA, sebuah kata yang sarat makna, familiar, sekaligus 'momok' yang menakutkan dalam kehidupan kita. Pasalnya, kita tidak ingin kecewa, dikecewakan, dan mengecewakan orang lain. Maka tidak heran, sebagian dari kita akan berusaha 'semaksimal' mungkin untuk tidak 'berurusan' dengan yang namanya 'kecewa'. Sekalipun demikian, faktanya hampir setiap manusia pernah merasakan apa itu kecewa, dikecewakan dan mengecewakan orang lain.
Umat TUHAN pernah mengeluh, "...tulang-tulang kami, sudah kering, dan pengharapan kami sudah lenyap, kami sudah hilang..."(Yeh.37:11b). Jika penggalan kalimat ini tidak diucapkan oleh umat TUHAN, maka kita akan berpikir bahwa Keluhan yang bernada, sinis, skeptis dan apatis ini, mengindikasikan suatu kondisi yang sangat memprihatinkan dari sekelompok orang yang memiliki Masa depan mereka suram (MADESUR).
Sebenarnya, mereka mengeluh karena akumulasi kekecewaan terhadap realita yang mereka hadapi. Mereka mengharapkan secepatnya kembali ketempat asal (baca: dipulihkan). Namun, realitanya mereka masih 'berkutat' ditempat pembuangan. Kondisi seperti inilah yang pada akhirnya membuat mereka kecewa dan putus asa.
Memang, mereka sepertinya berjalan dari sebuah rasa kecewa ke rasa kecewa lainnya. peristiwa yang mereka alami, didahului oleh keadaan buruk akibat perang saudara, korupsi yang merajalela dan telah bergesernya fungsi agama (ibadah) menjadi formalitas dan fanatisme belaka. Akibatnya, Negara (baca: Kerajaan) mereka menjadi rapuh dan klimaksnya pada tahun (+ 579 sM) jatuh ke tangan negara tetangga. sebagai bagian dari kejatuhan tersebut, sekitar delapan ribu Akademisi, budayawan, dan theknisi di 'boyong' ke negara tetangga. Peristiwa ini lebih dikenal sebagai pembuangan ke Babel.
Di antara mereka yang dibuang, terdapat seorang sastrawan keturunan bangsawan berpendidikan Imam, bernama Yehezkiel. Ia, cakap menulis prosa dan puisi dengan berbagai gaya sastra yang abstrak namun sangat deskritif dan terperinci. karyanya yang unik itu, kita kenal sebagai kitab Yehezkiel.
Dalam situasi dan kondisi bangsa yang terpuruk seperti itulah, Yehezkiel dipanggil dan diberikan tugas oleh TUHAN untuk memimpin (menjaga) umat-Nya. Yeheskiel tentunya memahami rasa kecewa, putus asa, dan frustrasi yang dialami oleh umat TUHAN (dan bukan tidak mungkin, Yeheskiel juga mengalami hal yang sama).
namun menariknya, Yehezkiel memiliki cara pandang yang berbeda terhadap kondisi yang sementara mereka hadapi.
Ia tidak ingin umat TUHAN gegabah dan mengambil keputusan yang salah. Sehingga ia dengan tegas, mengecam orang-orang yang hanya mengomel, menuding dan mempersalahkan generasi lama sebagai biang kerok (penyebab) dari kenyataan yang mereka alami. Ia menyatakan, "....anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya, dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya" ( Yeh.18:20). itu berarti, apa yang mereka alami (dibuang) sebenarnya merupakan akibat dari perbuatan mereka sendiri bukan karena generasi lama (orang tua/ leluhur mereka).
Selanjutnya, Yehezkiel menulis dengan gaya imajiner tentang sebuah lembah yang penuh dengan tulang kering. Ia melihat Allah datang ke lembah itu, dan merekatkan urat, daging, kulit serta menghembuskan nafas pada tulang-tulang itu. Maka bangkitlah tulang-tulang itu, 'mereka menjejakkan kaki, suatu tentara yang sangat besar'...(Yeh.37:10). Apa artinya? Harapan itu masih ada.
Disinilah letak keunikan Yehezkiel, Ia mampu melihat sebuah permasalahan dari dua perspektif yang berbeda. disatu sisi, ia menegur umat TUHAN dengan keras, mereka harus menyadari bahwa apa yang mereka alami merupakan akibat dari perbuatan mereka sendiri, sehingga tidak perlu mencari 'kambing hitam'.
Namun, disisi yang lain, ia mengajak umat TUHAN dengan lembut untuk menerima pengharapan yang ditawarkan Allah. Ia terus menerus memotivasi umat TUHAN untuk tetap percaya dan menanti pemulihan TUHAN, "...kamu akan mengetahui bahwa Aku TUHAN, dan..... mereka akan mengetahui Aku TUHAN..." menjadi 'garansi'.
Yehezkiel melihat bahwa, kekecewaan yang mereka alami, sebenarnya adalah kesempatan terbaik bagi mereka. Karena, nanti mereka akan mengenal dengan benar siapakah TUHAN itu? sesuatu yang luar biasa, bukankah pengenalan akan TUHAN merupakan anugerah terindah? lihatlah kerinduan Rasul Paulus menjelang detik-detik terakhir kehidupannya di dunia.
Yehezkiel tidak ingin umat TUHAN hanya meratapi diri dan terjebak dalam keterpurukan, putus asa yang membuat meraka tetap dalam keadaan 'mati'. Sebaliknya, ia mengharapkan umat TUHAN mengambil langkah konstruktif, yakni: mensyukuri 'anugerah' tersebut, menginstropeksi diri, dan menjadikan rasa kecewa sebagai "pelecut" untuk tetap menantikan pemulihan dari TUHAN, karena 'kecewa' merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses panjang pengenalan akan DIA.
Realita hidup, seringkali tidak seperti yang kita harapkan. dambaan dan impian seringkali jauh dari kenyataan, hal inilah yang menyebabkan kita kecewa. Salahkah?
Sebenarnya ketika kita kecewa, kita sedang menunjukkan bahwa kita adalah manusia yang masih memiliki dambaan dan harapan. Kita kecewa karena keadaan yang kita hadapi buruk, padahal kita mendambakan keadaan yang lebih baik.
jadi, perasaan kecewa bisa merupakan tanda bahwa kita sedang berjalan dari sebuah dambaan ke dambaan berikutnya. itu berarti, kita sedang bergerak maju dan menghendaki perubahan ke arah yang lebih baik. Memang, perspekrif tidak sama. Yang jelas, Orang yang berani kecewa adalah mereka yang ingin 'memiliki' sesuatu. Jikalau demikian, mengapa kita takut kecewa, bukankah kecewa itu Indah? (Refleksi Yehezkiel 37:11 b)