Powered By Blogger

29 Juni 2009

UNTUNG TUHAN TIDAK PERNAH MENYERAH


Pada tanggal 7 Desember 1998 di bagian utara Armenia, suatu gempa dengan kekuatan 6,9 skala richter menghancurkan sebuah gedung sekolah diantara bangunan-bangunan lainnya. Di tengah keramaian dan suasana panik, seorang bapak berlari menuju ke sekolah tersebut, dimana anaknya menuntut ilmu setiap harinya. Sambil berlari, ia terus teringat pada kata-kata yang sering ia ucapkan kepada anaknya itu, "Hai anakku, apapun yang terjadi, papa akan selalu bersamamu!"

Sesampainya di tempat di mana sekolah itu dulunya berdiri, yang ia dapati hanyalah sebuah bukit tumpukan batu, kayu dan semen sisa dari gedung yang hancur total! Pertama-tama ia hanya berdiri saja di sana sambil menahan tangis. Namun kemudian...tiba-tiba ia pergi ke bagian sekolah yang ia yakini adalah tempat ruang kelas anaknya. Dengan hanya menggunakan tangannya sendiri ia mulai menggali dan mengangkat batu-batu yang bertumpuk di sana. Ada seseorang yang
sempat menegurnya, "Pak, itu tak ada gunanya lagi. Mereka semua pasti sudah mati."

Bapak itu menjawab, "Kamu bisa berdiri saja di sana, atau kamu bisa membantu mengangkat batu-batu ini!" Maka orang itu dan beberapa orang lain ikut menolong, namun setelah beberapa jam mereka capek dan menyerah. Sebaliknya, si bapak tidak bisa berhenti memikirkan anaknya, maka ia menggali terus.

Dua jam telah berlalu, lalu lima jam, sepuluh jam, tigabelas jam,
delapan belas jam. Lalu tiba-tiba ia mendengar suatu suara dari bawah papan yang rubuh. Dia mengangkat sebagian dari papan itu, dan berteriak, "Armando!", dan dari kegelapan di bawah itu terdengarlah suara kecil, "Papa!". Kemudian terdengarlah suara-suara yang lain sementara anak-anak yang selamat itu ikut berteriak!

Semua orang yang ada di sekitar reruntuhan itu, kebanyakan para orang tua dari murid-murid itu, kaget dan bersyukur saat menyaksikan dan mendengar teriakan mereka. Mereka menemukan 14 anak yang masih hidup itu! Pada saat Armando sudah selamat, dia membantu untuk menggali dan mengangkat batu-batu sampai teman-temannya sudah diselamatkan semua. Semua orang mendengarnya ketika ia berkata kepada teman-temannya itu, "Lihat, aku sudah bilang kan, bahwa papaku pasti akan datang untuk menyelamatkan kita!"

Mari kita renungkan bagaimana kita menjalani hidup kita. Di saat kita dalam kegelapan, tertimpa oleh macam-macam beban masalah, jatuh dalam kelemahan dan dosa. Apakah kita lantas berkeluh kesah, putus harapan, dan lantas mengibarkan bendera putih pada dunia tanda menyerah? Ataukah kita akan bersikap seperti Armando, yang terus menggenggam HARAPAN? bahwa Seseorang sedang mencari kita dan siap menyelamatkan kita? Seseorang yang tak akan pernah menyerah sampai kita sudah di dalam pelukan-Nya.

(cerita ini, dikirim seorang sahabat)

28 Juni 2009

Quo Vadis Pendidikan Teologi di Indonesia?


Kemarin (sabtu, 27/06/ 2009) saya mendapat 'kesempatan langkah' mengikuti Seminar dan Lokakarya (SEMILOKA) Penulisan disemua Media, yg difasilitasi oleh CHRISTIAN LEADERSHIP NETWORK CENTRE (CLNC) dan Yayasan Komunikasi Masyarakat (YAKOMA)-PGI.....di Resto & Ballroom Himalaya Makassar, Sul-Sel. 

Dari beberapa Pemateri, yang membawakan materi, "WRITE YOUR VISION"._Bung Mula Harahap (Dir. YAKOMA dan mantan editor BPK-GM Jakarta), Ronald Ngantung (wartawan senior Suara Pembaruan, Sinar Harapan dan Wapemred Tribun Timur), Ps. herry Adiyanto (Webmaster-top ten),dll_ saya sangat senang sekaligus 'jengkel' dengan Ayah Mula (tapi saya tidak katakan, saya tidak senang dengan pemateri lainnya). 

Karena 'jengkel' itulah, saya berani sharingkan (diskusikan) di FB, tentunya setelah mendapat 'ijin' dari beliau (katanya beliau, 'senang' dikomentari, dicaci, dll....bagus ini pikir saya. 

Dengan gayanya yang khas, beliau memaparkan seluk beluk dunia tulis-menulis, beliau begitu semangat...menceritakan 'masa keemasan' penulis/penerbit Kristen beberapa tahun silam......tiba-tiba suaranya mulai perlahan, "kini, semua tinggal kenangan..........." betapa tidak, penulis/ penerbit Kristen mulai 'tenggelam' .....dan kalah dari 'saudara sepupu" .....

Lalu Ia, berteriak, "...mana anak-anak Sekolah/fakultas Teologi?...mana karya mereka?".....coba lihat 'saudara sepupu' yang sekolah di 'STT juga' karya mereka tidak hanya dinikmati oleh kalangan mereka, tapi kita pun menikmatinya....lihatlah Ayat-Ayat Cinta dan novel, buku lainnya penulisnya juga 'anak STT' kok?.
Beberapa teman saya (yang kebetulan berasal dari STT yang sebenarnya bukan tanda -"-) langsung 'bereaksi memprotes', saya sih diam-diam saja toh ada benarnya...... saya malah berterimaksih kepada Ayah Mula yang telah 'memprovokasi' saya.......

Memang, tidak objektif kalau masalah tulis-menulis dijadikan parameter mengukur peranan Sekolah/fakultas Teologi, karena memang 'bukan untuk itu' tujuan Sekolah/fakultas Teologi. Tetapi paling tidak, hal ini 'mengindikasikan' bahwa ada 'sesuatu' yang 'tidak beres' dengan Sekolah-Sekolah/fakultas-fakultas Teologi di Negeri ini . Ada 'indikasi' Sekolah/fakultas Teologi 'mengeksklusifkan' diri....kotor kalau memikirkan yang 'duniawi'............kita lebih suka memikirkan hubungan jemaat/ warga Gereja kita, dengan Tuhan. Dan membiarkan' mereka' yang memikirkan itu, benar juga!. 

Sayangnya, justru disinilah letak 'kelemahan' kita, kita 'gagal' memainkan peran kita sebagai garam dan terang. sebenarnya, kita hanya bisa jadi terang (yang menarang)i kalo kita ada dalam kegelapan, bukan sebaliknya kita menjadi terang ditempat yang terang, he..he.........

Saya jadi teringat dengan salah satu artikel di Buletin Oikumene PGI edisi Mei 2009, rupanya, Pendidikan Teologi tidak menumbuhkan kesadaran kritis dan emansipatoris, sebaliknya Sekolah-Sekolah/ Fakultas Teologi lebih menyerupai lembaga pencucian otak, sebagaimana di negara otoriter dan totaliter........

Maka, wajar saja, kalau dewasa ini, Sekolah/ fakultas teologi tidak lagi 'menarik' (diminati). Beda memang dengan zamannya John Calvin,dkk...............!

JB for people.

Bahaya kekeringan Rohani




Ada sebuah pertanyaan klasik, Mengapa Tuhan mengizinkan umat-Nya yang sedang berjalan di padang gurun berulang kali mengalami kekurangan air?  ( lih. Kel. 15:23, Bil. 20:2), Apakah TUHAN tidak tahu bahwa air merupakan kebutuhan vital yang harus dipenuhi tepat pada waktunya, lalu bagaimana dengan anak-anak yang mengalami dehidrasi?

'Pasti' sebagian besar dari kita akan menjawab, Agar mereka belajar bersandar penuh kepada Dia.  Jawaban yang tepat, namun terlalu cepat! he..he.. 

Sekali lagi, lewat kisah ini, kita melihat umat Tuhan yang bertingkah laku bukan sebagai umat beriman. Wajar sekali bila orang mengalami kehausan karena kekurangan air saat berada di padang gurun yang gersang. Akan tetapi, bukankah mereka sudah beberapa kali melihat bagaimana Tuhan menghantar mereka melewati padang kesulitan? Bukankah mereka sudah mengalami sendiri bagaimana Tuhan memelihara mereka dengan cara-Nya yang ajaib? Sayang sekali mereka bebal. Perhatian mereka hanya tertuju pada penderitaan yang akan mereka hadapi di padang gurun. Mereka tidak mau bila kondisi di gurun jauh lebih buruk daripada kondisi mereka ketika masih di Mesir. Di Mesir mereka dapat menikmati makanan secara berkelimpahan. Celakanya mereka lupa bahwa di Mesir mereka tidak merdeka karena secara fisik maupun mental, mereka adalah budak dari Firaun. Di balik keluh kesah tentang kedahagaan jasmani, sebenarnya mereka mengalami kedahagaan yang jauh lebih mengerikan yaitu, kerohanian yang dahaga. Kekeringan rohani membuat mereka tidak mampu melihat dan merasakan kehadiran Tuhan yang seharusnya menyegarkan hidup.

Dunia sekarang ini adalah dunia dengan gejala kekeringan dan kedahagaan rohani luar biasa. Buktinya adalah kebangkitan agama dan aliran kepercayaan, maraknya tempat-tempat hiburan, pengejaran terhadap status, kekayaan, dan kemewahan. Yang celaka tentu kalau orang Kristen sendiri terjebak ke dalam situasi ini. Sebagai anak-anak Tuhan, mari segarkan rohani kita dengan mendekatkan diri kepada Dia lewat persekutuan yang intim dalam firman dan doa. Jika berbagai tanda kekeringan rohani Anda rasakan kini, akuilah kepada Tuhan. Jadikan ini sebagai kesempatan untuk merasakan Tuhan memuaskan dahaga Anda.

JB for people.....

27 Juni 2009

KENANGAN MASA KECIL DI BUKIT SEPI BEBALAIN


mai fali e' mai fali e'

mama helu ita fali e.....

ledoh ana tena so, bulak a moli so

mama helu ita fali e...

mai fali e, mai fali e...

mama helu ita fali...

senandung lagu ini, membawa anganku.............................................................mengenang sebuah nama BEBALAIN.

'Tengkorak' entah, ada hubungannya atau tidak dengan nama Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Jemaat CALVARI BEBALAIN, yang jelas orang-orang tua doeloe sering menyebut Bebalain dengan bukit tengkorak..........mirip yach dengan kisah dalam Alkitab? saya kadang membandingkannya, tapi ya pasti beda, jadi ....lupakan sajalah!

Yang jelas, Bebalain itu nama sebuah desa sekaligus dusun yang berada di ketinggian pulau terselatan Indonesia Pulau Rote, so pasti Bebalain menjadi pintu gerbang terselatan Indonesia, karena berbatasan langsung dengan samudera Hindia. Bebalain memang indah, kalau berdiri di puncak HITUK hampir semua daratan di Pulau Rote terlihat, mungkin karena itu juga di namai Bebalain (bebak paling atas) he..he... saya juga tidak tahu.

Di sanalah saya dilahirkan, dusun kecil di tempat terpencil.....................................................menghabiskan masa kecil dengan bermain di pematang sawah, semua serba alami, tak ada sepeda,  motor apalagi mobil, yang ada hanya ringikan kuda,  mau tahu yang lebih banyak?????????? Nantikan cerita selanjutnya! Johan selalu punya Cerita.

UTUSAN INJIL

Tidak semua orang dipanggil menjadi penginjil. Juga tidak semua orang Kristen memiliki karunia menginjili. Fakta ini seringkali menjadi alasan orang untuk tidak bersaksi bagi injil Kristus. Kita yang tidak merasa menerima panggilan untuk penginjilan mengatakan bahwa kita tidak sama seperti Paulus. Bagaimana sebenarnya kita harus memandang diri kita dan kaitannya dengan Injil dan penginjilan?

Paulus adalah rasul yang ketika dipilih Tuhan, ditugasi memberitakan Injil kepada orang Ya-hudi dan bukan Yahudi (Kis. 9:15). Paulus mengalami perjumpaan dengan Dia yang tadinya dia musuhi dengan jalan mengejar dan menyiksa para pengikut-Nya. Perjumpaan itu menyebabkan perubahan radikal. Paulus jadi kenal siapa sebenarnya Yesus. Paulus sadar bahwa selama ini ia hanya seorang religius fanatik yang tidak sungguh berada dalam relasi kenal-mengenal dengan Allah. Maka Paulus bukan hanya menerima tugas menjadi penginjil atau rasul kepada bangsa-bangsa dan kaum berpengaruh. Paulus berjumpa Kristus, maka penginjilan yang ia lakukan adalah kesaksian pengalaman mengenal Kristus dan mengalami Injil yang menyelamatkan.

Dalam beberapa topik sebelum ini di surat Korintus, Paulus menegaskan bahwa di dalam gereja ada beragam karunia pelayanan dan karena itu juga beragam jabatan pelayanan. Maka wajar kita menerima bahwa tidak semua orang diberikan karunia menginjil dan tidak semua orang dalam gereja adalah penginjil. Ada orang tertentu yang Tuhan karuniakan dan tugasi khusus menjadi penginjil! Namun menjadi penyaksi atau utusan Injil Kristus semestinya merupakan kerinduan semua orang Kristen. Seperti orang yang sedang dalam hubungan cinta yang intens akan memancarkan aroma atau aura cinta melalui gaya bahasa, rona wajah, topik pembicaraan, atau arah pandangannya, demikian pun orang Kristen yang hatinya sudah mengalami Injil kasih Kristus itu.

Menyaksikan Injil Kristus bukan soal tugas atau penunjukan institusional. Menyaksikan Injil Kristus adalah soal memancarkan kasih dan kuasa Injil yang menyelamatkan yang tumbuh dalam hati dan terpancar dalam kehidupan keseharian kita. (ktp-ppa).

KECEWA ITU INDAH

(Refleksi Yehezkiel 37:11 b

KECEWA, sebuah kata yang sarat makna, familiar, sekaligus 'momok' yang menakutkan dalam kehidupan kita. Pasalnya, kita tidak ingin kecewa, dikecewakan, dan mengecewakan orang lain. Maka tidak heran, sebagian dari kita akan berusaha 'semaksimal' mungkin untuk tidak 'berurusan' dengan yang namanya 'kecewa'. Sekalipun demikian, faktanya hampir setiap manusia pernah merasakan apa itu kecewa, dikecewakan dan mengecewakan orang lain. 

Umat TUHAN pernah mengeluh, "...tulang-tulang kami, sudah kering, dan pengharapan kami sudah lenyap, kami sudah hilang..."(Yeh.37:11b). Jika penggalan kalimat ini tidak diucapkan oleh umat TUHAN, maka kita akan berpikir bahwa Keluhan yang bernada, sinis, skeptis dan apatis ini, mengindikasikan suatu kondisi yang sangat memprihatinkan dari sekelompok orang yang memiliki Masa depan mereka suram (MADESUR).


Sebenarnya, mereka mengeluh karena akumulasi kekecewaan terhadap realita yang mereka hadapi. Mereka mengharapkan secepatnya kembali ketempat asal (baca: dipulihkan). Namun, realitanya mereka masih 'berkutat' ditempat pembuangan. Kondisi seperti inilah yang pada akhirnya membuat mereka kecewa dan putus asa.

Memang, mereka sepertinya berjalan dari sebuah rasa kecewa ke rasa kecewa lainnya. peristiwa yang mereka alami, didahului oleh keadaan buruk akibat perang saudara, korupsi yang merajalela dan telah bergesernya fungsi agama (ibadah) menjadi formalitas dan fanatisme belaka. Akibatnya, Negara (baca: Kerajaan) mereka menjadi rapuh dan klimaksnya pada tahun (+ 579 sM) jatuh ke tangan negara tetangga. sebagai bagian dari kejatuhan tersebut, sekitar delapan ribu Akademisi, budayawan, dan theknisi di 'boyong' ke negara tetangga. Peristiwa ini lebih dikenal sebagai pembuangan ke Babel. 


Di antara mereka yang dibuang, terdapat seorang sastrawan keturunan bangsawan berpendidikan Imam, bernama Yehezkiel. Ia, cakap menulis prosa dan puisi dengan berbagai gaya sastra yang abstrak namun sangat deskritif dan terperinci. karyanya yang unik itu, kita kenal sebagai kitab Yehezkiel.


Dalam situasi dan kondisi bangsa yang terpuruk seperti itulah, Yehezkiel dipanggil dan diberikan tugas oleh TUHAN untuk memimpin (menjaga) umat-Nya. Yeheskiel tentunya memahami rasa kecewa, putus asa, dan frustrasi yang dialami oleh umat TUHAN (dan bukan tidak mungkin, Yeheskiel juga mengalami hal yang sama).

namun menariknya, Yehezkiel memiliki cara pandang yang berbeda terhadap kondisi yang sementara mereka hadapi. 


Ia tidak ingin umat TUHAN gegabah dan mengambil keputusan yang salah. Sehingga ia dengan tegas, mengecam orang-orang yang hanya mengomel, menuding dan mempersalahkan generasi lama sebagai biang kerok (penyebab) dari kenyataan yang mereka alami. Ia menyatakan, "....anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya, dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya" ( Yeh.18:20). itu berarti, apa yang mereka alami (dibuang) sebenarnya merupakan akibat dari perbuatan mereka sendiri bukan karena generasi lama (orang tua/ leluhur mereka).


Selanjutnya, Yehezkiel menulis dengan gaya imajiner tentang sebuah lembah yang penuh dengan tulang kering. Ia melihat Allah datang ke lembah itu, dan merekatkan urat, daging, kulit serta menghembuskan nafas pada tulang-tulang itu. Maka bangkitlah tulang-tulang itu, 'mereka menjejakkan kaki, suatu tentara yang sangat besar'...(Yeh.37:10). Apa artinya? Harapan itu masih ada.


Disinilah letak keunikan Yehezkiel, Ia mampu melihat sebuah permasalahan dari dua perspektif yang berbeda. disatu sisi, ia menegur umat TUHAN dengan keras, mereka harus menyadari bahwa apa yang mereka alami merupakan akibat dari perbuatan mereka sendiri, sehingga tidak perlu mencari 'kambing hitam'.

Namun, disisi yang lain, ia mengajak umat TUHAN dengan lembut untuk menerima pengharapan yang ditawarkan Allah. Ia terus menerus memotivasi umat TUHAN untuk tetap percaya dan menanti pemulihan TUHAN, "...kamu akan mengetahui bahwa Aku TUHAN, dan..... mereka akan mengetahui Aku TUHAN..." menjadi 'garansi'.


Yehezkiel melihat bahwa, kekecewaan yang mereka alami, sebenarnya adalah kesempatan terbaik bagi mereka. Karena, nanti mereka akan mengenal dengan benar siapakah TUHAN itu? sesuatu yang luar biasa, bukankah pengenalan akan TUHAN merupakan anugerah terindah? lihatlah kerinduan Rasul Paulus menjelang detik-detik terakhir kehidupannya di dunia. 


Yehezkiel tidak ingin umat TUHAN hanya meratapi diri dan terjebak dalam keterpurukan, putus asa yang membuat meraka tetap dalam keadaan 'mati'. Sebaliknya, ia mengharapkan umat TUHAN mengambil langkah konstruktif, yakni: mensyukuri 'anugerah' tersebut, menginstropeksi diri, dan menjadikan rasa kecewa sebagai "pelecut" untuk tetap menantikan pemulihan dari TUHAN, karena 'kecewa' merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses panjang pengenalan akan DIA.


Realita hidup, seringkali tidak seperti yang kita harapkan. dambaan dan impian seringkali jauh dari kenyataan, hal inilah yang menyebabkan kita kecewa. Salahkah? 

Sebenarnya ketika kita kecewa, kita sedang menunjukkan bahwa kita adalah manusia yang masih memiliki dambaan dan harapan. Kita kecewa karena keadaan yang kita hadapi buruk, padahal kita mendambakan keadaan yang lebih baik.

jadi, perasaan kecewa bisa merupakan tanda bahwa kita sedang berjalan dari sebuah dambaan ke dambaan berikutnya. itu berarti, kita sedang bergerak maju dan menghendaki perubahan ke arah yang lebih baik. Memang, perspekrif tidak sama. Yang jelas, Orang yang berani kecewa adalah mereka yang ingin 'memiliki' sesuatu. Jikalau demikian, mengapa kita takut kecewa, bukankah kecewa itu Indah? (Refleksi Yehezkiel 37:11 b)